Sejarah Perhimpuan Dokter Bedah Digestif Indonesia

 

 

Pada tahun tujuh puluhan kebutuhan akan keberadaan dokter spesialis bedah yang menguasai lebih mendalam bidang bedah digestif dirasakan sangat mendesak. Kebutuhan tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar jenis kasus yang ditangani oleh para spesialis bedah di Indonesia adalah kasus bedah digestif. Perkembangan ilmu bedah digestif saat itu sebenarnya sudah mencapai tingkat yang cukup bermakna dalam perannya menanggulangi penyakit-penyakit atau kelainan-kelainan di saluran cerna. Sementara itu kemajuan ilmu bedah di luar negeri di sekitar kita seperti di Singapura, Malaysia, Australia, Hongkong dan Jepang, demikian juga di Eropa dan Amerika ikut memberi dampak positif dalam mendorong kemajuan ilmu bedah digestif di Indonesia.

Demi menggalang kesatuan pandangan dalam konsep penerapan ilmu bedah digestif yang amat dinamis, diperlukan suatu wadah untuk menuangkan pengembangan ilmu bagi para spesialis bedah yang mencurahkan sebagian besar waktunya untuk pekerjaan dalam bidang bedah digestif. Tentu saja semua itu juga bertumpu pada harapan untuk ikut meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Maka pada tanggal 09 Juni 1979 di Denpasar Bali, 28 orang spesialis bedah bersepakat untuk mendirikan perkumpulan yang menghimpun subspesialis bedah digestif di Indonesia. Perkumpulan itu diberi nama Ikatan Ahli Bedah Digestif Indonesia dan disingkat menjadi IKABDI. Perkumpulan ini bertekad untuk memelihara, memupuk, meningkatkan, dan mengembangan ilmu bedah digestif untuk diamalkan demi kebahagiaan masyarakat melalui pendidikan dan pelayanan bedah digestif.

Sejak berdiri tahun 1979 hingga 1995, pengurus pusat IKABDI diketuai oleh Prof. R. Sjamsuhidajat dan dibantu oleh dokter Ibrahim Achmadsyah dan dokter Hermansyur Kartowisastro yang masing-masing bertindak sebagai sekretaris dan bendahara. Periode kepemimpinan selanjutnya pada tahun 1995-1977, ketua dijabat oleh dokter Ibrahim Achmadsyah dan dibantu oleh dokter Toar Lalisang sebagai sekretaris dan dokter Hermansyur Kartowisastro sebagai bendahara. Dari tahun 1997 sampai dengan sekarang ketua dijabat oleh dokter Warko Karnadihardja, sementara sekretaris I dijabat oleh dokter Errawan Wiradisuria, sekretaris II oleh dokter Reno Budiman, dan bendahara oleh dokter Yayat Ruchiyat.

Sejak didirikan, IKABDI telah mengadakan muktamar sebanyak 10 kali, yaitu :

1. Palembang pada tahun 1986

2. Manado pada tahun 1989

3. Ujung Pandang (Makassar) pada tahun 1992

4. Palembang pada tahun 1995

5. Malang pada tahun 1998

6. Semarang pada tahun 2001

7. Manado pada tahun 2003

8. Batu-Malang 2005

9. Makassar pada tahun 2008

10.Jakarta pada tahun 2011

 

Dewan pembina keahlian dibentuk pada tahun 1979 yang kemudian pada tahun 1991 menjadi Kolegium Ilmu Bedah Digestif. Kolegium ini dipimpin oleh Prof.R. Sjamsuhidajat dengan Prof. John Pieter dari Makassar, Prof. Aryono Djuned Pusponegoro dari Jakarta, dokter Abdus Sjukur dari Surabaya, dan dokter Warko Karnadihardja dari Bandung sebagai anggota.

Pendidikan subspesialisasi bedah digestif dipusatkan di Bandung, Jakarta, Surabaya dan Makassar. Sementara itu Semarang dan Medan sudah memiliki trainee atau fellow tetapi program pendidikannya masih belum penuh. Peserta didik masih diminta untuk menyelesaikan program di pusat yang sudah mandiri. Sampai dengan semester ganjil tahun 2004 telah dihasilkan 111 dokter subspesialisasi bedah digestif baru.

Ilmu bedah digestif, seperti ilmu bedah lainnya, mempunyai ruang lingkup bidang penyakit kongenital, degeneratif, kanker sistem saluran cerna, infeksi dan trauma. Teknik operasi bedah digestif mencapai kemajuan dengan diperkenalkannya teknik pemanfaatan alat stapler dari Rusia pada akhir tahun sembilan belas sembilan puluhan. Sampai sekarang teknik ini berkembang pesat dan dapat mempersingkat waktu operasi yang sangat berpengaruh pada hasil akhir operasi.

Ilmu bedah digestif juga mencapai kemajuan dengan dikembangkannya bedah laparoskopik yang mampu memberikan sifat invasif yang minimal dengan mortalitas yang lebih rendah dan morbiditas yang lebih ringan dan lebih singkat dibandingkan bedah konvensional. Bedag laparoskopik di Indonesia dikembangkan oleh dokter Henk Kartadinata, dokter Ibrahim Achmadsyah, dokter Barlian Sutedja beserta dokter Peter Hasan di Jakarta. Mereka membentuk tim bedah laparoskopik dan berhasil untuk pertama kali melakukan kolesistektomi laparoskopik pada Februari 1991 di RS Husada-Jakarta. dokter Hermansyur Kartowisastro pun berhasil melakukannya di RS Pondok Indah, Jakarta. Selanjutnya pada bulan Desember 1993 di Bandung didirikan PBEI (Perhimpunan Bedah Endo-Laparoskopik Indonesia).

Operasi pada hati, pankreas dan kolorektal juga mencapai kemajuan yang pesat. Demikian juga penanggulangan operatif untuk masalah infeksi dan trauma telah berkembang pesat. Operasi bedah digestif tidak akan berhasil tanpa dukungan peri-operative critical care atau surgical critical care, karena itu di Bandung dan Jakarta dikembangkan dukungan nutrisi dan ilmunya pada fase peri-operasi.

Selain itu pengertian dan penerapan damage control dan konsep triad of death (hipotermi, koagulopati dan asidosis yang tidak terkontrol) pada penanggulangan trauma maupun pada operasi elektif juga ikut dikembangkan. Penelitian pada hewan percobaan juga dikembangkan di Jakarta terutama dalam masalah penanggulangan syok hemoragik dan pengaruhnya pada tingkat seluler dan mikrosirkulasi, yang dapat mengubah tujuan dan cara resusitasi.

Dengan berkembangnya penelitian pada hewan percobaan, teknik operasi, terutama operasi invasif yang minimal dan pengertian yang mendalam mengenai peri operative critical care/surgical critical care, diharapkan kita akan mampu melakukan transplantasi hati, pankreas dan tidak ada lagi pasien yang meninggal karena sepsis maupun gagal organ.